LAPORAN PRAKTIKKUM ILMU
GULMA
“PENGARUH EKSTRAK
JENGKOL TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA”
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK VI
TITI WULANDARI D1A010041
FAJAR WILDANSYAH R D1A010090
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Menurut
Prof Bill, gulma adalah tumbuhan yang salah tempat. Beliau menyatakan ada 2
pengertian yaitu : a) tumbuhan ruderal; b) tumbuhan liar. Sedangkan Mangun
sukardjoe (1983), menyatakan bahwa gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai
(-) atau merugikan kepentingan manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Kemudian Soeryani (1988) mengemukan bahwa gulma adalah sebagai tumbuhan yang
peranan, poetnsi, dan hakikat kehadriannya
tidak / belum diketahui.
Sehingga secara
subjektif, gulma dapat didefenisikan sebagai berikut :
1) Tumbuhan
yang tidak dikehendaki manusia;
2) Semua
tumbuhan yang tumbuh selain tanaman yang dibudidayakan ;
3) Tumbuhan
yang masih belum diketahui manfaatnya;
4) Tumbuhan
yang mempunyai nilai (-) terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung;
5) Tumbuhan
yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan.
Dari berbagai pengertian
gulma tersebut dapat juga diketahui pengaruh negatif gulma terhadap aktivitas
tertentu dalam kehidupan, yaitu :
1.
Dapat mengakibatkan
kerugian terhadap tanaman yang dibudidaya
2.
Biaya lebih tinggi,
baik itu biaya herbisida mapun buruh
3.
Dampak sosial
4.
Dampak lingkungan
5.
Berkurangnya hasil baik
secara kuantitas dan kualitas
6.
Gulma akam mengeluatkan
zat alelopati yang dapat menganggu tanaman
7.
Gulma akan bisa menjadi
inang sementara bagi hama dan patogen
8.
Gulma dapat mengganggu
tata guna air, yakni aliran air dapat terhambat, biji –biji gulma ikut mengalir
( penyebaran biji gulma)
9.
Mengganggu saat panen
10.
Mengganggu estetika (
mengurangi nilai keindahan)
Maka secara umum dengan kehadiran
gulma ini akan meningkatkan biaya petani, karena pengendaliannya. Saat ini
pengendalian gulma masih terbatas sejauh dengan pemanfaatanya yang belum
diketahui. Namum tidak jarang para peneliti yang memanfaatkan gulma sebagai
pengendalian hayati bagi serangga hama ataupun patogen. Misalnya sebagai
pestisida nabati, fungisisda nabati dan lain-lain.
Didalam pengaruh negatif gulma telah singgung mengenai zat
alelopati. Zat alelopati ini bisa saja dihasilkan oleh gulma atau produk
tanaman tertentu misalnya akar, batang, daun atau buah ( kulit buah). Contohnya
tanaman jengkol. Jengkol atau jering dalam bahasa latin Pithecollobium Jiringa
atau Pithecollobium Labatum adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara,
termasuk yang digemari di Malaysia, Thailand dan Indonesia terutama di wilayah
Jawa Barat yang seharinya dikonsumsi ±100 ton. Jengkol termasuk tanaman
polong-polongan. Buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit, berwarna
lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengilap.
Jengkol merupakan tanaman yang memiliki tinggi 5-15 m, dengan ranting
menggantung. Tanaman ini memiliki tangkai daun utama dan poros sirip dengan
satu kelenjar atau lebih dan berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur
terbalik miring dengan ujung tumpul 1,5-5 x 1-2,5 cm. Bunga beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25
pada ujung ranting dalam malai. Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota
berbentuk corong, dari luar berambut. Benang sari banyak, panjang lebih kurang
1 cm; tangkai sari pada pangkal bersatu menjadi tabung. Bakal buah berambut,
bertangkai, merah. Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau menggulung
dalam 1-2 puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar
1 cm. Biji 1-10 mengkilap berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros
yang tidak sempurna (Steenis; 1975). Jengkol dapat
menimbulkan bau tidak sedap setelah diolah dan diproses oleh pencernaan.
Bau
ini timbul karena adanya kandungan asam-asam amino yang terkandung di dalam biji
jengkol. Asam amino itu didominasi oleh asam amino yang mengandung unsur Sulfur (S). Ketika
terdegradasi atau terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino
itu akan menghasilkan berbagai komponen flavor yang sangat bau, karena pengaruh
sulfur tersebut. Salah satu gas yang terbentuk dengan unsur itu adalah gas H2S yang terkenal sangat bau.Tetapi dalam hal
ini yang berkaitan dengan pengendalian gulma adalah alelopat yang dikandung
oleh jengkol, yakni pada kulit jengkol.
Berdasarkan
penelitian, ditemukan bahwa kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam
kulit jengkol (terpenoid, saponin, asam fenolat serta alkaloid) ampuh untuk
melindungi tanaman dari serangan hama. Unsur tannin dan flavanoid dalam kulit
jengkol ternyata sama ampuhnya dengan tannin pada tumbuhan berkayu dan herba
yang berfungsi untuk memproteksi diri dari hama. Dengan adanya kandungan tannin
ini, kulit jengkol kemudian memiliki potensi untuk digunakan sebagai pestisida
alami setelah diracik bersama tumbuhan lainnya. Pemanfaatan limbah kulit
jengkol masih jarang dilakukan, meskipun telah ada beberapa penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui dekomposisi dari kulit jengkol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu dekomposisi kulit buah jengkol selama 5 hari dapat
menurunkan nyata beberapa parameter pertumbuhan empat jenis gulma penting,
yaitu Echinochloa crussgalli (jajagoan), Cyperus iria (rumput
menderong), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan Alternanthera
sessilis (kremah) (Enni Suwarsi,
2002).
Artinya
kandungan alelopat dalam kulit jengkol mampu menghambat pertumbuhan gulma
tertentu. Hal inilah yang mendasari penulis untuk membuktikan hal tersebut
dengan melakukan percobaan (praktikkum) yang berjudul “Pengaruh
Ekstrak Jengkol Terhadap Pertumbuhan Gulma”.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum ini yaitu
untuk mengidentifikasi gulma yang tumbuh pada lahan berkstrak jengkol, serta
mengetahui efek pemebrian ekstrak jengkol terhadap pertumbuhan gulma.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tanaman
Jengkol dan Kandungannya
Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui memiliki senyawa bioaktif
antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin
yang berfungsi sebagai insektisida dan repelen (Campbell, 1933, Burkill, 1935).
Sedikitnya sudah ada 2000 tumbuhan dari berbagai famili yang dilaporkan dapat
berpengaruh buruk pada organisme pengannggu tanaman (Grainge dan Ahmed, 1988;
Prakash dan Rao, 1977), diantaranya tedapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan
yang aktif terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Jengkol merupakan tanaman
yang memiliki tinggi 5-15 m, dengan ranting menggantung. Tanaman ini memiliki
tangkai daun utama dan poros sirip dengan satu kelenjar atau lebih dan
berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur terbalik miring dengan ujung
tumpul 1,5-5 x 1-2,5 cm. Bunga
beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25 pada ujung ranting dalam
malai. Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota berbentuk corong, dari
luar berambut. Benang sari banyak, panjang lebih kurang 1 cm; tangkai sari pada
pangkal bersatu menjadi tabung. Bakal buah berambut, bertangkai, merah.
Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau menggulung dalam 1-2
puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar 1 cm. Biji
1-10 mengkilap berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros yang tidak
sempurna (Steenis; 1975).
Pemanfaatan limbah kulit
jengkol masih jarang dilakukan, meskipun telah ada beberapa penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui dekomposisi dari kulit jengkol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu dekomposisi kulit buah jengkol selama 5 hari dapat
menurunkan nyata beberapa parameter pertumbuhan empat jenis gulma penting,
yaitu Echinochloa crussgalli (jajagoan), Cyperus iria (rumput
menderong), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan Alternanthera
sessilis (kremah) (Enni Suwarsi,
2002).
Dari hasil penelitian
(Rahayu dan Pukan,1998) diungkapkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam kulit
jengkol yaitu alkaloid, terpenoid, saponin, dan asam fenolat.
2.2 Gulma
dan Ekstrak Kulit Jengkol
Gulma merupakan
bagian dari kehidupan pertanian sehari-hari. Dengan adanya gulma ini, petani
jadi menyisihkan sebagian dana dan tenaga untuk menyingkirkannya. Memang gulma
merupakan tanaman yang kontrofersial, meskipun harus tergantung dari segi mana
meninjaunya. Petani dalam suatu sistem pertanian ingin mencapai hasil yang
menguntungkan dan maksimal. Sehingga pada anggapannya untuk mencapai tujuan itu
lahan harus selalu bersih dan bebas dari
gulma. Penurunan
hasil dari gulma dapat mencapai 20 – 80% bila gulma tidak
disiangi
(Moenandir, 1993).
Ada beberapa
cara pengendalian gulma diantaranya pengendalian secara
kimia yang dapat
dilakukan dengan menggunakan herbisida. Herbisida berarti suatu
senyawa kimia
yang digunakan sebagai pengendali gulma tanpa mengganggu
tanaman pokok.
Dengan semakin pesatnya penggunaan herbisida kimia lama
kelamaan
menimbulkan efek negatif bagi tumbuhan, maka petani berusaha untuk
mendapatkan
senyawa-senyawa yang baru yang berpotensi untuk menjadi salah satu herbisida
yang dapat dikomersialkan. Dalam pembuatan herbisida ini yang menjadi masalah
adalah mahalnya biaya pembuatan dan registrasi herbisida serta terbatasnya sumber-sumber
bahan baku yang tersedia. Selain itu penggunaan herbisida kimia secara terus
menerus akan mengakibatkan resistennya suatu gulma tertentu. Untuk itu perlu
dicari alternatif lain seperti halnya dengan penggunaan senyawa alelopati sebagai
bioherbisida (Sukman, 1995).
Jengkol (Pithecelobium
jiringa) merupakan salah satu lalapan yang sangat
digemari orang.
Selama ini kita mengkonsumsi jengkol dalam bentuk biji setelah
dipisahkan
dengan kulitnya sedangkan kulit jengkol merupakan limbah yang tidak
mempunyai nilai
ekonomi dan dibuang begitu saja. Oleh sebab itu upaya
pemanfaatan
kulit buah jengkol untuk mengendalikan gulma tidak saja menekan
biaya
pengeluaran dalam usaha pertanian, tetapi juga merupakan salah satu upaya
memanfaatkan
limbah organik. Berdasarkan uji senyawa kimia, ternyata kulit jengkol
yang
didekomposisi selama lima hari banyak mengandung senyawa penghambat,
yaitu berbagai
macam asam lemak rantai panjang dan fenolat (Enni dan Krispinus,
1998), Dua
golongan senyawa ini termasuk kedalam senyawa yang dapat
menghambat
pertumbuhan tumbuhan lain (Enni, 1998 cit Einhellig, 1995).
Penelitian
mengenai potensi kulit buah jengkol sebagai herbisida alami pada
pertanaman padi
sawah telah dilakukan pada lahan pertanian di Semarang. Dalam
penelitian
tersebut sawah yang tergenang air setinggi 5 cm ditebarkan dengan kulit
jengkol yang
telah diiris melintang setebal 1 cm sebanyak 1 kg per meter persegi.
Dari penelitian
ini terbukti kulit jengkol dapat menekan pertumbuhan gulma. Namun informasi
mengenai pengaruh konsentrasi ekstrak kulit jengkol (Pithecelobium jiringa
(jack) Prain ex King) terhadap pertumbuhan tanaman padi (Oryza sativa)
belum pernah dilaporkan. Maka untuk melengkapi informasi tersebut dilakukan penelitian
yang berjudul Vigor Padi (Oryza sativa) Dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi
Ekstrak Kulit Jengkol (Pithecelobium jiringa (jack) Prain ex King).
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat
dan Waktu
Tempat
: lahan percobaan fakultas pertanian, universitas jambi
Waktu : praktikum ini dilaksanakan mulai dari tanggal
sampai dengan 2012
3.2 Alat
dan Bahan
Cangkul
per kelompok masing-masing 1 buah
Gunting
Lesung
( gilingan kulit jengkol) 1 buah
Pisau
atau parang
Plastik
ukuran 5 kg
Tali rapiah 1 rol kecil
Baskom besar 1 buah
Penggerus (untuk menggerus
tumbukan kulit jengkol dalam lesung)
Kulit
jengkol 1 kg
Air
5 liter per kosentrasi tiap kelompok
3.3
Langkah Kerja
1. Siapkan lahan berukuran 120cm x 100cm.
Kemudian bersihkan dan buat hingga membentuk bedengan, ini dilakukan oleh
tiap-tiap kelompok.
2. Lahan diolah dengan menggeburkan tanahnya.
3. siapkan kulit jengkol sebanyak 1 kg, tumbuk
menggunakan lesung hinga halus ( alelopati nya keluar).
4. Tiap kelompok mengambil tumbukan kulit
jengkol sesuai konsentrasinya, yaitu;600g,500g, 400g, 300g,200g,dan 100g.
Tiap-tiap konsentrasi diberi volume air
5 liter.
5. Ekstrak kulit jengkol tersebut direndam
dalam volume air tersebut dan dibiarkan selama 2 minggu.
6. Seteah ekstrak jengkol siap, segera
aplikasikan ke petakan yang telah diolah
( digemburkan) dan yang diberi label A. Label A untuk petakan yang diberi
ekstrak jengkol sebelum gulma tumbuh. Sedangkan B untuk petakan yang diaplikasi
ekstrak jengkol setelah 10 hari pengolahan petakan atau 10 hari setelah
aplikasi ke petakan A.
7. Petakan dibiarkan selama seminggu dan
diamati tiap perubahan serta perbedaan petak A dan B. Catat jumlah gulma yang
ada pada masing-masing petakan.
8. Petelah 10 hari, di beri ektrak jengkol
dengan konsentrasi yang sama dengan petakan A.
9. Amati gulma yang tumbuh dan hitung pula
jumlahnya pada masing-masing petakan.
10. Buatlah laporannya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan
4.1.1 Tabel pengamatan
No
|
Jenis gulma
|
Jumlah gulma
|
Keterangan
|
Petakan A
|
Petakan B
|
P.I
|
P.II
|
P.I
|
P.II
|
1
|
A
|
137
|
152
|
181
|
209
|
|
2
|
B
|
-
|
-
|
17
|
21
|
|
3
|
Mimosa pudica
|
46
|
37
|
93
|
102
|
|
4
|
Teki—tekian
|
156
|
177
|
359
|
405
|
|
5
|
Paspalum conjugatum Berg
|
6
|
11
|
10
|
17
|
|
6
|
Meniran
|
3
|
7
|
15
|
21
|
|
7
|
Belimbing tanah
|
1
|
3
|
2
|
7
|
|
Jumlah
|
349
|
387
|
677
|
782
|
|
Keterangan :
P.I :
Pengamatan I ( aplikasi ekstrak kulit jengkol langsung setelah lahan diolah).
P.II :
Pengamatan II ( aplikasi ekstrak kulit jengkol 10 hari setelah lahan diolah).
A dan B : Jenis gulma berdaun lebar yang belum diidentifkasi
jenisnya.
Petakan A : Petakan dengan aplikasi ekstrak kulit jengkol langsung
setelah lahan diolah
Petakan B : Petakan dengan aplikasi ekstrk kulit jengkol
4.2.1 Pembahasan
Berdasarkan data yang
didapat dari lapangan mengenai pertumbuhan gulma dengan disertai aplikasi
ekstrak kulit jengkol dapat pula diketahui bahwa melihat dari jumlah P.I dan
P.II pada sebelum gulma tumbuh ( petakan A) dan setelah gulma tumbuh (Petakan
B). Ternyata gulma jumlah gulma yang tumbuh pada petakan A lebih sedikit
dibandingkan gulma yang tumbuh di petakan B. Tetapi gulma yang tumbuh pada
petak perlakuan justru berbanding terbalik dengan control perlakuan. Pada
control perlakuan gulma yang tumbuh jauh lebih sedikit, tidak banyak gulma yang
tumbuh. Seharusnya pada control gulma lebih banyak agar perbedaan aplikasi
ekstrak jengkol dengan non-aplikasi ekstrak jengkol terlihat jelas adanya
pengaruh ekstrak jengkol sebagai alelopati pengahambat pertumbuhan gulma.
Tetapi ada beberapa hal yang terjadi dilapangan yang tidak sesuai dengan
dugaan. Yakni gulma pada petakan B
justru menjadi lebih subur setelah diberi ekstrak kulit jengkol.
Kemungkinan besar
pemberian ekstrak jengkol pada petakan B ini, yang bekerja dari ekstrak kulit jengkolnya
adalah auksin. Sementara alelopati nya tidak bekerja. Juga dapat dikarenakan
pada pengaplikasian ekstrak kulit jengkol yang disiram dipermukaan tanah, tidak
tercampur dengan tanah. Sehinggga tidak diserap akar dan tidak tersimpan. Ampas-ampas
ekstak kulit jengkol juga tertabur diatas petakan B. Sedangkan pada Petakan A
gulma yang tumbuh memang jauh lebih sediki. Dan hal ini benar menunjukan benar
adanya pengaruh alelopati ekstrak jengkol yang diaplikasikan sebelum gulma
tumbuh. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena pada petakan B aplikasi ekstrak
kulit jengkol langsung diberikan setelah tanah diolah, sehingga ekstrak
tersebut tersimpan didalam tanah, dan biji-biji gulma yang ada didalam tanah
sulit untuk tumbuh.
Di
galangan antar petakan banyak didominasi gulma berdaun sempit, jika
dibandingkan dengan petakan yang ada beberapa gulma yang tumbuh adalah gulma
berdaun lebar. Hal tersebut terjadi, kemungkinan besar karena bentuk
cekatan—cekatan antara petakan satu dengan yang lainnya agak cekung, sehingga
ketika hujan kandungan air di galangan dengan di petakan berbeda. Bisa saja di
galangan kandungan airnya lebih banyak, dan terus dalam keadaan lembab (berair)
biasanya gulma yang tumbuh dalam keadaan tanah berkandungan air tinggi dan
terdapat pada tempat terbuka adalah jenis gulma yang berdaun sempit. Contohnya
pada galangan di persawahan, banyak gulma berdaun sempit yang mendominasi. Dipetakan
juga kebanyakan gulma berdaun sempit, namun ada sebagian yang berdaun lebar.
Namun
secara ketidaksesuaian keadaan dilapangan dengan dugaan awal serta tujua kemungkinan
besar disebabkan mulai dari pengolahan ekstrak kulit jengkol yang tidak sesuai prosedur.
Pembuatan ekstrak kulit jengkol tidak sekaligus, sehingga ada sebagian kulit
jengkol yang sudah agak kering, dan membuat kandungan alelopati nya berkurang.
Kemudian dari aspek konsentrasi pemberian ekstrak kulit jengkol. Perhitungan
yang kurang tepat membuat salah satu perlakuan pada percobaan ini justru
menjadi galat. Karena perbandingan jumlah gulma yang tumbuh pada konsentrasi
200g justru lebih banyak dibandingkan konsentrasi 100g. Seharusnya pada
konsentrasi 200g gulma yang tumbuh lebih sedkit daripada konsentrasi 100g.
Selanjutnya pada
pengolahan tanahnya, tanah yang akan diaplikasi pada petakan B tidak
duegmburkan terlebih dahulu. Sehingga ekstrak kulit jengkol tidak tersimpan
didalam tanah. Dan justru mengalir kebawah (galangan) dan itu juga dapat
menyebabkan gulma yang tumbuh digalangan menjadi lebih subur, kemungkinan
karena pengaruh auksin dari ekstrak kulit jengkol tersebut.
BAB
V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Maka berdasarkan data dan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh ekstrak jengkol terhadap pertumbuhan
gulma yakni dapat mengurangi persentase tumbuhnya gulma atau menghambat
pertumbuhan gulma dan mampu menjadi zat pengatur tumbuh apabila
pengaplikasiannya tidak disertai pengolahan yang benar, sehingga gulma justru
menjadi subur. Herbisida yaitu suatu senyawa kimia yang digunakan
sebagai pengendali gulma tanpa mengganggu tanaman pokok. Dengan semakin
pesatnya penggunaan herbisida kimia lama kelamaan menimbulkan efek negatif bagi
tumbuhan, maka petani berusaha untuk mendapatkan senyawa-senyawa yang baru yang
berpotensi untuk menjadi salah satu herbisida yang dapat dikomersialkan.
Lampiran
Denah petakan
percobaan ( praktikum)