Jumat, 09 Desember 2011
putus
Sore keemasan di bukit itu menjadi saksi perpisahan kami berdua.
Perpisahan yang sungguh menyakitkan hatiku dan tak mungkin bisa aku
lupakan dalam beberapa waktu. Satu kata yang pantas untuk mewakili
perpisahan kami, putus! Entah apa yang harus aku lakukan dalam keadaan
ini, aku bingung. Mengapa semua ini harus terjadi pada diriku yang
selama ini sering tersakiti? Walaupun sepenuhnya aku tak menyalahkan
diriku, tapi paling tidak aku telah mengubah takdirnya dengan tidak
mempertahankannya dalam gelanggang kehidupan ini. Garis-garis langit
yang tampak sangat nyata dari bukit Lintu, menerbangkan anganku pada
masa lalu, ketika aku merangkak mencari arti hidup. Aku hanya bisa
berangan dan berkhayal untuk dapat memilikinya. Sampai suatu hari,
ketika bulu-bulu halus mulai memenuhi wajahku, ia datang dan menjadi
bagian dari sejarah hidupku. Sejak saat itulah kebersamaan kami
mengarungi perjalanan waktu dan peri-peri kahyangan menaburkan
bunga-bunga kebahagiaan dari taman cinta yang tak bisa kulukiskan dengan
kata-kata. Hingga beberapa saat yang lalu, kejadian yang tidak pernah
aku impikan menerpa bak angin badai yang meluluhlantakkan semua cerita
impian kami. Merampas semua angan dan cita yang pernah tumbuh.
"Sudahlah, Ar! Jangan terlalu bersedih. Terkadang apa yang kita inginkan
bukan yang terbaik, yang diberikan Tuhan pada kita. Tuhan lebih tahu
mana yang terbaik bagi hambanya." Andi tiba-tiba muncul di depanku. "Kau
mudah berkata demikian karena kau tidak merasakan apa yang aku alami
saat ini. Ia memang bukan satu-satunya yang kusayangi. Tapi sejak lama,
ia telah menemaniku dalam kesepianku. Dan kepergiannya menghancurkan
hatiku," aku berkata sambil menengadahkan wajahku ke langit, berharap ia
kembali datang padaku. "Arbi, marilah kita pulang ke rumah. Sia-sia
saja menyesali nasib yang telah terjadi, karena ia tak akan pernah
kembali padamu. Ia kini telah menjadi milik orang lain, dan biarkan
orang lain itu menggapai kebahagiaan bersamanya. Ikhlaskan ia!" Andi
kembali mengeluarkan rayuannya untuk mengajakku kembali ke rumah.
Kuakui, semua yang dikatakan oleh Andi adalah benar. Tapi, terasa berat
olehku untuk meninggalkan tanah tempat berpisah kami dan
kenangan-kenangan kebersamaan kami melekat pada bumi yang saat ini aku
pijak, bukit Lintu. "Ayolah, orangtuamu menunggu di rumah semenjak
tandi. Mereka mencemaskan dirimu yang seharian tak muncul di hadapan
mereka. Jangan membuat mereka khawatir!" Teman dekatku ini berucap
sambil menarik tanganku menuju motornya. Kulangkahkan kakiku mengikuti
jejak langkah Andi, menyusuri jalan yang sepi. Setelah menghidupkan
mesin motornya, Andi menoleh kepadaku dan berkata, "Cepatlah sedikit-!
Sebentar lagi matahari akan terbenam. Janganlah kau masih berpikir
tentangnya, dahulukanlah orangtuamu. Karena merekalah yang mengawali
kebersamaanmu, tanpa adanya mereka, engkau tidak akan pernah lahir di
muka bumi ini." "Iya, aku mengerti. Jangan kau mengulang-ulangi nasehat
semacam itu," dengan nada sedikit emosi, kuhenyakkan pantatku pada sadel
motor Andi. Selain menjadi sahabat terdekatku, Andi juga kerap menjadi
pesuruh orangtuaku untuk memanggil diriku di bukit Lintu, tempat aku
menghabiskan waktu-waktuku berteman kenangan-kenangan indah masa lalu,
saat kami bersama. Ketika motor telah berjalan beberapa meter,
kutengadahkan wajahku sekali lagi ke langit bukit Lintu dan kukatakan,
"Selamat tinggal layang-layangku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar